Selasa, 01 September 2020

Upaya Kudeta Melawan Coronavirus, Akankah Kita Merdeka?

Bangsa Indonesia baru saja merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke 75 pada 17 Agustus 2020 yang lalu. Sayangnya, kali ini bangsa Indonesia kembali harus 'dijajah'. 'Penjajah' kali ini tidak dapat dilihat, dan bahkan dapat menaklukkan hampir seluruh dunia dalam waktu tidak sampai setahun. Prestasinya jauh melebihi Genghis Khan dari Mongolia. Semua pasti sudah tahu apa yang saya maksud. Ya, makhluk tak terlihat ini bukanlah makhluk gaib, melainkan sebuah gerombolan virus yang ukurannya sekitar seribu kali lipat lebih kecil daripada rambut manusia. Mereka adalah coronavirus. Lebih tepatnya HCoV-SARS2, tetapi orang lebih banyak mengenalnya dengan nama COVID-19. Banyak pihak berlomba-lomba untuk mencari cara untuk melawannya, tetapi mungkinkah hal ini dilakukan? Virus ini telah ada sejak jaman dinosaurus. Mereka tetap ada hingga kini adalah bukti bahwa evolusi mereka telah demikian 'sempurna', atau setidaknya luar biasa. Namun begitu, yang namanya 'penjajah' harus diusir. Ada beberapa metode yang dilakukan oleh banyak pihak untuk membasmi 'penjajah cilik' ini, dan saya akan mencoba mengulasnya.


 

Metode Plasma Serum

Plasma adalah bagian dari darah yang berwujud cairan. Metode plasma serum (atau serum plasma?) merupakan suatu metode kekebalan pasif, di mana antibodi dari suatu organisme diambil untuk disuntikkan ke manusia, sehingga 'korps legiun asing' ini yang akan bekerja untuk memberantas patogen yang ada di dalam tubuh kita. Di dalam sejarah, kuda merupakan hewan yang seringkali diambil antibodinya, dengan cara sengaja diinfeksi dengan suatu kuman penyakit. Ketika kuda tersebut sembuh, maka ia akan memiliki antibodi yang dapat diambil untuk dimurnikan lalu disuntikkan ke tubuh manusia. Beberapa penyakit, seperti difteri, cacar, dan tetanus, dapat diobati dengan menggunakan serum dari plasma darah kuda.

Daripada menyuntikkan antibodi kuda ke manusia, tentunya akan lebih baik jika antibodi manusia disuntikkan ke manusia yang lain. Begitulah idenya. Tetapi, ini artinya manusia yang memiliki antibodi tersebut haruslah diinfeksi terlebih dahulu agar dapat menghasilkan antibodi. Dan kegiatan menginfeksi secara sengaja adalah perbuatan yang kejam, apalagi jika menginfeksi dengan kuman berbahaya. Tetapi, jika orang tersebut sudah terlanjur terinfeksi, ya apa boleh buat. Jika dia sembuh, maka [plasma] darahnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber serum untuk mengobati penyakit yang sama yang diderita oleh pasien yang lain. Ya, itupun dengan syarat, sang penyintas bersedia mendonorkan darahnya dan tidak takut jarum.

 
hormat saya untuk bapak polisi dan tentara,
yang rela berbuat banyak demi bangsa dan negara ini


Kelebihan dari metode ini adalah, seperti sebuah negara lemah yang mendapatkan bantuan tentara Gurkha yang berpengalaman dalam perang, tentunya 'kemenangan' menjadi lebih mungkin diraih, walaupun terkadang bisa gagal juga. Kekurangan dari metode plasma serum ini, adalah karena 'bahan bakunya' berasal dari darah, ya artinya ini bisa disamakan dengan donor darah biasa. Normalnya, pendonor pertama dapat mendonorkan 350 mL darah dan pendonor berkala dapat mendonorkan 500 mL, walaupun terkadang bisa sampai 700 mL. Tentara atau polisi dari satuan / unit khusus dapat mendonorkan sampai 1 L darah walaupun sebaiknya tidak dilakukan, karena kehilangan 1 L darah dapat dianggap sebagai berada pada kondisi perdarahan tingkat 2 (class II hemorrhage). Hanya dalam kasus khusus (misal : perang) dan pertimbangan yang cermat hal ini dapat dilakukan.

Sama seperti tentara Gurkha yang memiliki jumlah yang terbatas, metode plasma serum ini juga sangat terbatas dan tidak bisa menolong banyak pasien. Belum lagi golongan darahnya juga harus diperiksa. Dan, seperti halnya donor darah, seorang pendonor darah baru dapat mendonorkan darahnya kembali setelah 120 hari atau 4 bulan, atau 3 bulan paling cepat. Juga, menurut Mayo Clinic, studi terhadap 35.000 pasien yang menerima plasma serum memiliki tingkat kematian 8,7% untuk seminggu pertama ; hal ini menjadi 2 kali lipatnya tingkat kematian akibat COVID-19 itu sendiri. Oleh karenanya, FDA belum bisa merekomendasikan hal ini, setidaknya menurut berita yang saya baca hingga detik ini.

Vaksinasi

Semua mungkin tahu Edward Jenner, sang penemu vaksin. Ia menggunakan virus cacar sapi dan menginfeksi anaknya sendiri, dan kemudian menemukan bahwa anaknya menjadi kebal terhadap virus cacar yang mewabah ketika itu. Pada prinsipnya, vaksin merupakan suatu metode kekebalan aktif, di mana tubuh 'diperkenalkan' kepada virus yang lebih lemah atau virus yang 'diperlemah' agar menjadi lebih siap saat menghadapi invasi virus yang sesungguhnya. Bayangkan jika tentara reguler sebuah negara semuanya berkualifikasi  komando, pasti akan menjadi...... super sekali, seperti bapak Mario Teguh. Vaksinasi dapat merangsang tubuh untuk membentuk antibodi yang [diharapkan] dapat memerangi virus yang sebenarnya. Tetapi, ada beberapa masalah di sini. 

Pertama, bayangkan satu kelompok tentara yang mendapatkan latihan berat, lalu memasuki masa tenang dan damai dan tidak melakukan latihan. Mereka akan lupa terhadap latihannya. Begitu pula dengan sistem imun kita. Dia bisa 'lupa' dengan vaksin yang pernah diberikan, sehingga antibodinya dapat hilang. Untuk kasus MERS dan SARS yang lebih mematikan, penyintas memiliki antibodi yang bertahan 2 - 6 tahun. Untuk ebola yang sangat mematikan, diketahui bahwa antibodi masih ada setelah 10 tahun. Untuk influenzavirus hanya 2 bulan. Untuk golongan coronavirus lainnya berkisar 3 - 6 bulan. Itulah alasannya, vaksin harus diulang sekali lagi (total mendapatkan dua suntikan)

Kedua, coronavirus merupakan virus yang dapat bermutasi sebagaimana virus influenza. Mutasi mengakibatkan perubahan karakteristik. Bayangkan tentara komando yang sudah dilatih untuk perang hutan harus diterjunkan ke medan padang pasir atau medan bersalju tanpa latihan maupun briefing. Latihannya mungkin tidak akan efektif. Apalagi jika membawa perbekalan yang salah.

 
marinir salah kostum

Lebih lanjut lagi, ada beberapa 'golongan' yang tidak boleh mendapat vaksin. Pertama, ya tentunya mereka yang sedang menderita penyakit tersebut, sudah jelaslah, nenek-nenek juga tahu. Lalu, golongan manula atau anak-anak yang masih di bawah 15 tahun. Juga mereka yang menderita komplikasi atau penyakit tertentu lainnya juga tidak dianjurkan untuk divaksin. 

Antibodi Monoklonal

Antibodi monoklonal adalah suatu zat antibodi yang didesain dan dikembangkan di laboratorium, untuk kemudian disuntikkan ke tubuh manusia. Antibodi ini didesain sedemikian rupa untuk mencari dan menghancurkan target yang sangat spesifik yang disebut dengan antigen. Antigen adalah potongan / komponen protein yang terdapat dalam sel kuman ataupun sel kanker. Ketika disuntikkan ke dalam tubuh manusia, antibodi buatan ini akan mencari dan menghancurkan target sesuai 'perintahnya'. Terkadang, ia bisa juga memprovokasi sistem kekebalan tubuh manusia untuk membantunya, dalam hal ini disebut immunotherapy

Pada prinsipnya, ada dua jenis antibodi monoklonal : antibodi monoklonal botak (naked monoclonal antibodies) dan antibodi monoklonal terkonjugasi (conjugated monoclonal antibodies). Antibodi monoklonal terkonjugasi biasanya terkoneksi dengan suatu jenis obat berbasis kimia ataupun radioaktif. Sedangkan antibodi monoklonal botak (ini adalah terjemahan versi saya sendiri, karena takut disensor UU pornografi) tidak terhubung dengan suatu obat. Kelebihan dari metode ini adalah tentu saja, sangat efektif, selektif (tidak merusak sel-sel lain selain sel target), dan kerjanya cepat.


Kekurangannya, jika zat antibodi disuntikkan dan bekerja dengan sangat efektif, hal ini dapat memicu demam yang sangat tinggi dan cepat, dan dalam kasus tertentu hal ini bisa membahayakan. Juga, karena antibodi monoklonal ini merupakan zat asing, ada kemungkinan bahwa antibodi monoklonal ini justru dianggap sebagai zat asing dan malah ditarget oleh antibodi alami tubuh, memicu reaksi seperti alergi yang parah. Untuk mengidentifikasi antigen juga berarti kuman penyakit harus dipertahankan dalam kondisi hidup di dalam laboratorium ; mempertahankan virus dalam kondisi hidup untuk mengidentifikasi antigennya jauh lebih sulit daripada bakteri atau bahkan sel kanker. Jangan lupa juga mengenai mutasi virus tadi. Dan terakhir, tentu saja biaya investasinya. Sebagai contoh, Regeneron Pharmaceuticals baru saja menerima hibah sebesar lebih dari US$ 450 juta (lebih dari Rp 6,5 triliun) untuk tambahan biaya penelitiannya, dan ini masih belum cukup.

Antibiotika

Antibiotika sepertinya tidak akan mempan terhadap virus, karena antibiotika bekerja dengan cara mengintervensi atau mengacaukan metabolisme sel dari bakteri. Virus bukanlah sel yang sempurna ; ia tidak memiliki ribosom, mitokondria, atau bahkan nukleus, sehingga tidak ada target untuk diserang oleh antibiotika. 

Probiotik

Kita tahu yoghurt mengandung probiotik. Tetapi probiotik hanya mengkolonisasi saluran pencernaan, dan itu pun hanya di usus besar, sedangkan coronavirus normalnya bermukim di saluran respirasi, karena 'jangkar' pada coronavirus hanya dapat menempel pada epitel / membran mukosal alias selaput lendir. Walaupun coronavirus bisa saja menginfeksi kerongkongan (esofagus), tetapi ketika sampai di lambung maka riwayat mereka akan tamat. Tetapi, kasusnya akan berbeda jika coronavirus menginfeksi tenggorokan (atau lebih tepatnya, trakhea), di mana infeksi dimungkinkan untuk berlanjut sampai ke paru-paru (alveoli), yang berada di luar jangkauan probiotik tadi. Tidak banyak yang dapat diperbuat oleh probiotik ini. Hal ini sama saja dengan menyuruh anggota pemadam kebakaran untuk bersiaga di Korea Selatan, padahal terjadi kebakaran yang berlokasi di Korea Utara. Tak peduli seberapa hebatnya kebakaran di Korut, grup pemadam Korsel tidak bisa pergi ke sana walaupun jaraknya tidak jauh. Mengapa? Karena ada DMZ (batas negara). btw, hal ini pernah terjadi tahun 2017. Karena penjelasan medisnya rumit, lebih baik pakai analogi saja untuk menerangkannya.

Menggunakan CADD

CADD singkatan dari Computer Aided Drugs Design atau 'merancang obat dengan bantuan komputer'. Di jaman AI (artificial intelligence) saat ini, [hampir] semua hal dapat dilakukan secara otomatis. Hal ini termasuk ke dalam pembuatan obat, atau lebih tepatnya rekayasa obat. 

 


Dengan meng-input semua data, maka komputer akan memberikan 'saran' mengenai obat yang [mungkin] efektif dalam membasmi COVID-19. Keunggulannya adalah, struktur obat dapat ditentukan / ditemukan dengan mudah dan cepat. Juga, prosesnya hemat biaya, cukup memakai program komputer saja plus biaya untuk penyejuk udara, karena hal ini akan memerlukan komputer khusus yang menghasilkan panas dalam jumlah besar. Kelemahannya, tentu saja komputer dapat bekerja jika ada input yang tepat, dalam hal ini genom COVID-19 harus dipetakan terlebih dahulu. Juga, desain obat yang 'dihasilkan' oleh komputer belum tentu dapat dibuat di laboratorium.

 
beberapa hal yang ada pada gambar,
belum tentu dapat dibuat di dunia nyata


Teknologi Nano

Penggunaan teknologi nano untuk melawan COVID-19 sepertinya cukup masuk akal. Bagaimanapun, virus merupakan suatu partikel nano yang ada secara alami. Nanorobot yang ada saat ini memiliki ukuran terkecil 0,1 mikron atau 100 nm, kurang lebih sama dengan ukuran coronavirus. Materi genetik dari coronavirus cukup rapuh, maka jika ada molekul nano yang mampu bereaksi dan menjebol perisai pelindungnya, maka mengatasi COVID-19 bukanlah hal yang sulit, secara teori. 


Obat Tradisional

Keberadaan obat tradisional telah ada hampir mengikuti sejarah peradaban umat manusia itu sendiri. Ketika saya SD dahulu, ada mata pelajaran PKK, di mana diajarkan beberapa jenis tanaman seperti 'pagar hidup', 'warung hidup', dan 'apotik hidup'. Pelajaran PKK di jaman modern ini tentunya sudah tidak ada lagi, digantikan dengan robotika, komputer, dan sebagainya. Namun, pengetahuan akan obat tradisional dan metode alternatif lainnya tak bisa dipungkiri dapat membantu meringankan bahkan mengobati berbagai macam penyakit. Jika pengobatan alternatif tidak rasional, ahli patah tulang seperti Haji Na'im di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, pastilah tidak akan terus 'kebanjiran pasien' yang selalu datang. Sayangnya, seiring waktu, pengobatan alternatif sering dipandang remeh hanya karena dinilai 'tidak rasional'. Padahal, ketika COVID-19 mewabah di China, 85% dari penderita mengaku merasa sangat terbantu dengan obat tradisional, walaupun golongan skeptis tentunya akan melontarkan argumennya sendiri.

Kekurangannya adalah, orang yang benar-benar memahami obat tradisional ini sudah bisa tergolong langka, karena produknya sendiri sudah dianggap remeh (tidak menghasilkan uang). Obat tradisional juga memiliki komposisi yang bervariasi dan tidak konsisten, sehingga komponen mana yang benar-benar bermanfaat untuk suatu penyakit menjadi sulit untuk diidentifikasi. Seringkali, bahan aktif yang bermanfaat merupakan kombinasi dua atau tiga bahan aktif, yang jika diisolasi dan diberikan kepada penderita sebagai zat murni saja justru akan menjadi tidak / kurang berkhasiat. Kesulitan yang sangat banyak mulai dari uji keaktifan, isolasi dan pemurnian identifikasi bahan aktif, karakterisasi, sintesa laboratorium, sampai produksi massal komponen bahan aktif tersebut memakan waktu, biaya, dan energi yang sangat mahal. Belum lagi tahap pengujian yang melelahkan dan memakan biaya, dari uji in vitro / ex vivo, uji pre-klinis, uji klinis tahap I-II-III, uji interaksi obat, dll. Setidaknya dibutuhkan biaya sekitar US$ 120.000.000 dan waktu minimal 10 tahun sampai obat tersebut memiliki ijin untuk diedarkan. 

 

Dan jumlah uang tersebut masih belum termasuk biaya pembangunan pabrik, mulai dari pembelian tanah, konstruksi, bahan baku, biaya iklan, pengembangan bisnis, saluran distribusi, pembelian armada, dll. Ya, kalau hanya untuk membuktikan bahwa bawang merah memiliki efek pengencer darah saja, tidak perlu uang sebanyak itu dihamburkan untuk membuat obat pengencer darah berbasis bawang merah. Cukup minum obat pabrikan yang sudah ada saja, atau ya makan saja bawangnya langsung. Kelebihannya adalah, sebagian tanaman herbal relatif mudah didapat, harganya murah atau minimal terjangkau, mudah diolah secara tradisional, lumayan efektif jika diberikan dengan takaran yang tepat, dan karena terdiri dari kombinasi beragam bahan aktif, maka walaupun kuman mengalami mutasi sekalipun maka keefektifan obat tradisional tetap dapat diandalkan.



Penutup

Semua metode memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi, sebagaimana kemerdekaan diperoleh oleh para pejuang di jaman penjajahan dengan cara bersatu, akan lebih baik jika metode-metode yang [akan dan] telah ada ini saling mendukung (diintegrasikan) satu sama lain. Hal ini akab dibahas di artikel selanjutnya. Namun bagaimanapun, mencegah lebih baik daripada mengobati. Salam sehat.

Referensi 

https://www.theguardian.com/world/2020/aug/24/what-is-blood-plasma-therapy-covid-coronavirus-trump

https://www.forbes.com/sites/robertpearl/2020/08/10/coronavirus-vaccine-gone-wrong/#71d503947ae4

https://www.statnews.com/2020/07/31/covid-19-vaccine-amazingly-close-why-am-i-so-worried/

https://www.thenational.ae/world/europe/coronavirus-world-must-be-prepared-for-ineffective-vaccine-or-stronger-virus-1.1061836 

https://www.devex.com/news/devexplains-monoclonal-antibody-treatment-for-covid-19-97708

https://www.cancer.org/treatment/treatments-and-side-effects/treatment-types/immunotherapy/monoclonal-antibodies.html

https://www.drugtargetreview.com/article/61581/can-a-computer-help-us-find-a-treatment-for-covid-19/

https://www.nature.com/articles/s41565-020-0757-7

https://news.northeastern.edu/2020/03/04/heres-how-nanoparticles-could-help-us-get-closer-to-a-treatment-for-covid-19/

https://www.scmp.com/news/china/society/article/3052763/coronavirus-80-cent-patients-china-benefiting-traditional

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Jakarta PSBBBBBBBBBBBBBB lagi....

Akhirnya, setelah ramai-ramai didatangi massa pendemo dari luar Jakarta, yang kebanyakan berstatus pekerjaan tidak jelas, termasuk pelajar a...

Popular Posts