Siapa yang tidak kenal dengan coronavirus, nama kuman yang yang akhir-akhir ini lebih terkenal daripada artis Korea. Begitu banyak informasi mengenai coronavirus yang bisa ditemukan di dunia maya, sehingga saya tidak akan menuliskan terlalu banyak. Coronavirus dituding bertanggungjawab atas kematian hampir satu juta umat manusia di dunia (data akhir Agustus 2020).Walaupun begitu, tidak banyak yang tahu bahwa coronavirus sebenarnya mengacu pada suatu keluarga besar virus.
Hal ini dapat dianalogikan dengan kata 'kucing' yang mengacu pada banyak jenis (spesies) kucing.

Sama halnya dengan ilustrasi kucing di atas, anggota kelompok coronavirus sangatlah banyak jenisnya. SARS (2002), MERS (2012), dan COVID-19 hanyalah sedikit contoh dari anggota coronavirus (sebenarnya nama kelompoknya adalah coronaviridae). Saya masih memiliki buku teks Mikrobiologi saya yang lama (tahun 1993), dan inilah yang dapat saya temukan.

Dengan menggunakan klasifikasi dikotomi, coronavirus digolongkan dalam kelompok virus RNA berselubung. Virus sendiri merupakan bentuk makhluk hidup paling sederhana, walaupun ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa virus bukanlah makhluk hidup. Perbedaan pendapat ini dapat dimengerti, mengingat virus tidak dapat hidup di luar sel makhluk hidup, tidak seperti bakteri yang tidak harus hidup di dalam sel inang. Walau begitu, ada suatu grup protein penginfeksi yang bernama prion, yang memiliki struktur yang bahkan lebih sederhana daripada virus. Oleh karena itu, jelaslah bahwa prion bukanlah suatu makhluk hidup, sehingga penyakit apapun yang ditimbulkannya tidak dapat disembuhkan, setidaknya sampai saat ini. Tetapi, lupakanlah hal itu dan mari kembali ke topik. Coronavirus memiliki bentuk bulat atau oval, dengan diameter berkisar dari 80 hingga 220 nm, Bandingkan dengan virus HIV yang memiliki bentuk yang mirip tetapi diameternya 120 nm, 1 nm (nanometer) ialah satu per sejuta milimeter. Rambut manusia memiliki ketebalan bervariasi di sekitar 0,1 mm.
Virus menggandakan diri mereka sendiri dengan 'membajak' beberapa protein kunci untuk memperbanyak diri mereka sendiri. Virus tidak dapat dibunuh dengan antibiotik. Antibiotik dirancang untuk membunuh bakteri dengan cara mengintervensi atau mengacaukan metabolisme sel bakteri tersebut. Bagaimanapun, karena virus bukanlah sell yang sempurna, maka tidak ada 'target' untuk diserang oleh antibiotika. Coronavirus, seperti telah disebutkan, memiliki selubung atau cangkang. Selubung ini berfungsi sebagai perisai pelindung yang berfungsi untuk melindungi dari senyawa kimia yang berpotensi membahayakan 'nukleus' (virus sebenarnya tidak memiliki mitokondria dan inti sel, oleh karena itu kata 'nukleus' saya tuliskan dalam tanda kutip). Inilah sebabnya mengapa coronavirus sukar untuk dibunuh di dalam tubuh. Di luar tubuh, membunuh coronavirus tidaklah sulit. Selubung coronavirus tersusun atas phospholipid bilayer, yang dapat jebol jika bereaksi dengan alkohol, natrium hipoklorit (senyawa yang ditambahkan ke kolam renang sebagai disinfektan), atau povidone-iodine (antiseptik pada Betadine).
Kabar buruknya, coronavirus hanyalah 'dua tingkat' di bawah influenzavirus dalam hal kemampuan bermutasi. Kita tahu, bahwa COVID-19, MERS, dan SARS disebabkan oleh kuman dari kelompok yang sama, yaitu coronavirus. Tetapi, sebelum adanya wabah-wabah tersebut, tidak ada laporan bahwa spesies virus tersebut telah ada. Memang ada beberapa teori yang mungkin, salah satunya adalah teori evolusi-mutasi.

Di dalam buku teks Mikrobiologi saya yang sudah usang, dituliskan bahwa grup coronavirus "bertanggungjawab atas 15% kasus flu yang terjadi pada orang dewasa". Saya dapat menelusuri sejarah coronavirus yang menurut para ahli dapat ditelusuri secara genetik ke HCoV-OC43 pada tahun 1950an, tetapi virus ini sekarang sudah tidak ada lagi. Jadi, di manakah ia sekarang? Jelaslah bahwa ia telah bermutasi dan berdiferensiasi menjadi ratusan spesies, seperti yang telah diidentifikasi oleh para ahli. Mutasi ini bahkan membuat coronavirus (termasuk COVID-19) memiliki kemampuan untuk menginfeksi spesies lain di luar manusia dan primata. Laporan sebuah kebun binatang di China menemukan adanya COVID-19 pada 'kucing besar' seperti harimau dan singa. Entah apa yang dipikirkan oleh penjaga kebun binatang ini, tetapi penemuannya sangat mengejutkan. Beberapa minggu berselang, sebuah kebun binatang di Amerika mengkonfirmasi hal serupa. Dan akhirnya, Belgia melaporkan kasus COVID-19 pada kucing rumah yang tertular virus dari pemiliknya. Walaupun singa dan harimau memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, tetapi hubungan antara manusia dan kucing cukup jauh. Hal ini mau tidak mau menuntut kita untuk meningkatkan kewaspadaan, karena bukannya tidak mungkin bola bulu kita yang unyu itu menyelundupkan pembunuh tak kasat mata.

Lebih Lanjut Mengenai COVID-19
Kemampuan COVID-19 (atau, coronavirus, secara umum) untuk menginfeksi berbagai macam spesies membingungkan para ahli. Kemampuan ini tidak mungkin dimiliki dalam waktu singkat, karena ini merupakan produk evolusi jangka panjang. Misteri ini mulai terkuak ketika para ahli menemukan bahwa coronavirus dapat bersarang di suatu jenis mammalia tanpa membuatnya sakit. Mammalia ini bernama.... kelelawar..... Kemampuan kelelawar untuk tidak menunjukkan gejala apapun walaupun terinfeksi menjadikannya tidak hanya inang alami (natural host) bagi coronavirus, tetapi juga natural reservoir. Beberapa jenis kelelawar diketahui telah ada dan pernah hidup bersama dinosaurus, sehingga para ahli menduga bahwa nenek moyang coronavirus telah ada jauh sebelum manusia ada. Kecanggihan teknologi memungkinkan manusia untuk menjelajah tempat dengan medan yang sulit, dan mungkin saja manusia secara tidak sengaja 'bertemu' dengan kelelawar ini, sementara polusi menyebabkan mutasi. Entahlah, ini hanya teori seperti yang ada di film-film. Benar atau tidaknya, hanya Tuhan yang tahu. Dengan kemampuan mutasi coronavirus ini, bukannya tidak mungkin obat-obatan maupun vaksin yang dikembangkan dengan susah-payah untuk melawan coronavirus menjadi kurang efektif, atau bahkan tidak efektif. Berdoa saja semoga hal ini tidak terjadi.
Berikut ini adalah beberapa gejala COVID-19 :
* batuk kering
* kelelahan
* sakit dan nyeri
* disorientasi
* sakit tenggorokan
* diare
* conjunctivitis (sakit mata)
* sakit kepala
* berkurangnya / hilangnya kemampuan penciuman
* kesulitan bernapas atau sesak napas
* nyeri dada atau tekanan pada dada
* berkurangnya kemampuan bicara ataupun motorik
Adapun kemampuan mutasi dari coronavirus dapat berdampak pada virulensi (karakter) virus tersebut. Adapun ada 3 skenario yang mungkin, yaitu : pertama, virus akan bermutasi dan memilih inang yang lain selain manusia ; kedua, virusnya akan menjadi ganas ; ketiga, virusnya akan menjadi lebih 'bersahabat'. Anda mungkin akan berpikir bahwa jika virus menjadi lebih 'jinak' maka ia akan lebih mudah ditanggulangi, tetapi faktanya tidaklah demikian. Masih ingat kasus MERS pada 2012? Tingkat kematiannya adalah 30%, sangat tinggi. COVID-19 (atau nama ilmiahnya, SARS-CoV2) memiliki tingkat kematian 0,5 - 5 %, tetapi MERS tidak sampai menjadi masalah dunia sebagaimana COVID-19. Juga, kuman yang paling mengerikan seperti MDR-TB (tuberkolusis yang resisten terhadap banyak antibiotik) dan antraks juga tidak menyebabkan masalah global. Menarik, bukan?
Apa yang Terjadi Saat COVID-19 Berada di Dalam Tubuh Kita?
COVID-19 (sebagaimana anggota coronavirus lainnya) suka menginfeksi sel epitel / membran mukosal. Bahasa gampangnya adalah, bagian yang 'basah atau berlendir' dari tubuh. Tetapi, janganlah berpikir hal-hal yang porno, karena bagian di dalam tubuh yang dimaksud adalah sistem pernafasan dan kadangkala sistem pencernaan. COVID-19 dapat juga menyerang bagian basah lain dari tubuh, yaitu mata, dan menyebabkan conjunctivitis (radang selaput mata). Keberadaan COVID-19 pada cairan genital belum pernah dilaporkan hingga saat ini.
Lalu, apakah kerusakan yang ditimbulkan oleh COVID-19 dapat diperbaiki? Jawabannya adalah, tergantung. Sebelum saya menjawab hal ini, mari kita ingat kembali mengenai penyakit lepra / kusta, suatu penyakit yang sangat mengerikan yang ada sepanjang sejarah manusia, dan mulai berhasil dikendalikan hanya sekitar 2 atau 3 abad yang lalu. Penyakit kusta sangat ditakuti karena bisa mengakibatkan hilangnya anggota tubuh, seperti tangan atau kaki, sebelum akhirnya sang penderita meninggal dalam kesakitan. Saat ini, dengan kemajuan di bidang farmasi dan kedokteran, kehilangan anggota tubuh akibat kusta sangat mungkin dihindari, asalkan dapat diidentifikasi dan ditangani secara cepat. Hal ini juga berlaku untuk penyakit COVID-19. Bedanya, penyakit kusta membutuhkan waktu tahunan agar dapat menimbulkan kerusakan, sementara COVID-19 hanya membutuhkan hitungan hari. Oleh karena itu, identifikasi dan penanganan harus dilakukan dengan cepat.
Seperti disebutkan, COVID-19 menyerang membran mukosal. Pada fase awal infeksi, tes identifikasi dapat memberikan hasil negatif semu (false negative), sehingga harus dilakukan tes 3 - 5 hari kemudian. Dari rongga hidung, virus dapat turun ke tenggorokan (lebih tepatnya, trakhea), lalu bronkus, hingga akhirnya menyerang alveoli. Di dalam trakhea, terdapat sel bersilia yang fungsinya 'menangkap' partikel asing dengan lendirinya, lalu dibawa ke atas melawan gravitasi, untuk kemudian diludahkan keluar atau ditelan dan membiarkan asam lambung untuk membunuhnya. Pada tahap awal di mana COVID-19 mulai menginfeksi tenggorokan (trakhea), sel bersilia perlahan akan mulai mati. Hal ini akan menyebabkan ia kehilangan fungsinya, sehingga jika ada partikel asing yang masuk, tubuh akan menggunakan metode alternatif untuk mengeluarkan partikel asing dari dalam tubuh, yaitu dengan menciptakan beda tekanan. Tubuh memanifestasi ini dengan cara batuk [dan terkadang bersin]. Pada fase ini, beberapa metode tes seperti PCR atau rapid test sudah bisa memberikan hasil yang lumayan akurat. Bagi mereka yang cukup sensitif akan merasa gatal pada tenggorokan, dan jika berlanjut maka akan memicu reaksi inflamasi atau peradangan, dalam hal ini radang tenggorok. Jika reaksi inflamasi pada tenggorokan (trakhea) telah terjadi, maka sebenarnya epitel sel pada trakhea telah rusak sebagian [besar] ; yang artinya virus telah bergerak masuk lebih dalam lagi ke bronkus, dan segera akan mengkolonisasi alveoli. Penderita harus segera mendapatkan penanganan medis, sebelum virus mencapai alveoli.
Jika virus sudah mencapai alveoli, hal ini akan sangat berbahaya. Alveoli bertugas sebagai unit pertukaran gas, sehingga jika diserang oleh virus akan memicu reaksi inflamasi. Sel-sel alveoli akan 'dibajak' oleh virus untuk menghasilkan ratusan ribu sampai jutaan partikel virus yang baru. Alveoli yang kehilangan fungsinya ini akan mengalami apoptosis (kematian sel) juga akan memicu respons imun lanjutan yang menghasilkan cairan, yang pada akhirnya mengganggu pernafasan (atau lebih tepatnya, respirasi). Jika sudah berada pada kondisi ini, maka nyawa pasien menjadi terancam, karena alveoli yang masih berfungsi untuk melakukan pertukaran gas jumlahnya berkurang. Tubuh akan mengalami hypoxia, yang bahasa gampangnya adalah kelaparan oksigen. Beberapa organ akan terpengaruh, dari sistem saraf, jantung, dan terutama...... otak..... Kerusakan otak sangat mungkin terjadi jika otak tidak mendapat suplai oksigen, sama seperti jika terjadi serangan stroke.

Gambar di atas menunjukkan citra dari paru-paru yang mengalami pneumonia. Hal ini dapat terjadi karena infeksi primer yang mengakibatkan inflamasi yang tak terkendali, atau bisa juga karena infeksi sekunder yang diakibatkan oleh bakteri seperti diplococcus pneumoniae. Dari sini jelaslah bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Konsumsi vitamin C juga sangat dianjurkan. Kita juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh dengan mengkonsumsi suplemen golongan immuno-modulator. Apa itu immuno-modulator, akan dijelaskan di artikel selanjutnya.

Walau begitu, ingatlah, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Cegahlah penularan coronavirus dari luar dengan menggunakan masker ketika bepergian, dan cegah jugalah dari dalam dengan mengkonsumsi suplemen produk kami, yang dapat dibeli di Shopee Indonesia...
Artikel dalam versi Bahasa Inggris dapat dilihat di sini.
Referensi :
https://www.theguardian.com/world/2020/apr/22/french-study-suggests-smokers-at-lower-risk-of-getting-coronavirus
https://www.telegraph.co.uk/news/0/what-coronavirus-how-spread-uk-global-pandemic/
https://www.nationalgeographic.com/animals/2020/04/tiger-coronavirus-covid19-positive-test-bronx-zoo/
https://www.irishtimes.com/news/science/viruses-hijack-living-host-cells-and-then-replicate-themselves-1.4217903
https://phys.org/news/2020-04-coronaviruses-evolving-millions-years.html
https://www.nytimes.com/2020/01/28/science/bats-coronavirus-Wuhan.html
https://erj.ersjournals.com/content/55/4/2000607
https://www.bbc.com/news/health-51214864
https://www.livescience.com/cat-infected-covid-19-from-owner.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar